Menurut Ferdi, permohonan ini diajukan untuk melindungi Rudy dan keluarganya dari tekanan yang dialami setelah kasus pemecatan tersebut mencuat. “Kami sudah menyerahkan permohonan serta syarat-syarat yang dibutuhkan kepada LPSK untuk investigasi lebih lanjut,” kata Ferdi.
Ferdi menambahkan bahwa pihaknya masih menunggu tindak lanjut dari LPSK terkait permohonan tersebut. “Kami harap LPSK dapat segera meneliti kasus ini dan memberikan perlindungan,” ujarnya. Selain LPSK, Rudy dan tim hukumnya juga berencana mengadukan masalah ini ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan dan Anak. Langkah ini diambil karena istri dan anak Rudy juga ikut terdampak secara psikologis oleh ancaman dan teror tersebut.
Pemasangan Police Line BBM Ilegal Memicu Pemecatan
Pemecatan Rudy Soik diduga berkaitan dengan pemasangan garis polisi di lokasi yang diduga menampung bahan bakar minyak (BBM) ilegal di wilayah Kelurahan Alak dan Fatukoa, NTT. Rudy menegaskan bahwa ia memasang police line sebagai bentuk penindakan terhadap aktivitas penimbunan BBM ilegal. Namun, tindakan tersebut dianggap tidak profesional oleh Polda NTT.
Polda NTT, melalui Kabid Propam Kombes Pol Robert Sormin, menekankan bahwa pemecatan Rudy bukan semata-mata karena kasus pemasangan police line. “Pemecatan dilakukan berdasarkan akumulasi dari beberapa pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan Rudy,” jelas Robert.
Menurut Robert, dua warga yang terlibat dalam dugaan penimbunan BBM, yaitu Ahmad Ashar dan Al Gazali Munandar, sempat diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, polisi menemukan bahwa tindakan Rudy lebih berupa penertiban, bukan penegakan hukum formal yang sesuai dengan SOP. “Rudy Soik tidak memiliki surat perintah penyegelan, yang merupakan syarat administratif dalam proses penyelidikan dan penyidikan,” tambah Robert.
Akumulasi Pelanggaran dan Keputusan Pemecatan
Pemecatan Rudy Soik tidak hanya didasarkan pada satu kejadian, melainkan merupakan akumulasi dari tujuh pelanggaran sebelumnya. Salah satunya adalah kasus pidana yang membuat Rudy harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kupang pada 2015, dengan vonis empat bulan penjara. “Track record Rudy mencatat tujuh kali pelanggaran disiplin dan kode etik, yang semuanya diperhitungkan dalam sidang etik,” ujar Robert.
Sidang kode etik digelar pada 10 dan 11 Oktober, di mana berbagai saksi dihadirkan untuk memberikan keterangan. Hasilnya, komisi etik memutuskan untuk menjatuhkan sanksi PTDH kepada Rudy Soik.
Rencana Tindak Lanjut dan Imbauan Polri
Ferdi Maktaen menyebutkan bahwa selain LPSK dan Komnas HAM, mereka juga mempertimbangkan untuk membawa kasus ini ke Mabes Polri, tergantung situasi ke depannya.
Sementara itu, Robert Sormin mengimbau masyarakat agar memahami bahwa pemecatan Rudy bukan hanya karena masalah police line di lokasi BBM. “Keputusan PTDH diambil berdasarkan alasan-alasan pemberatan yang terungkap dalam persidangan serta rekam jejak pelanggaran Rudy,” tutup Robert.
More Stories
Bulog Tegaskan Status Sebagai BUMN Meski Proses Transformasi Berlanjut
Kepala Daerah Mundur: Implikasi Kalah Pilkada 2024 bagi Masyarakat dan Ekonomi
PKB Lakukan PAW Tiga Anggota DPR, Muhammad Khozin Siap Membawa Aspirasi Masyarakat